DEEP LEARNING DAN PEDAGOGI BARU DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Oleh : Mahbub Alwathoni
Terdapat dua sudut pandang yang sangat berbeda dalam mengenal dan memahami apa itu "Deep Learning". yaitu Deep Learning dalam konteks "machine learning" (mesin pembelajaran), dan Deep Learning dalam konteks pendidikan. Deep learning pada machine learning, terinspirasi oleh struktur dan fungsi otak manusia, khususnya jaringan saraf. Dalam deep learning, algoritma kompleks yang disebut jaringan saraf tiruan (artificial neural networks) digunakan untuk menganalisis data dalam jumlah besar dan menemukan pola yang sangat kompleks. Pada prinsipnya Deep learning dalam konteks "machine learning" adalah pengembangan dari AI (Artificial Intellegence).
Deep learning dalam konteks pendidikan merupakan sebuah pendekatan pembelajaran yang menekankan pemahaman mendalam terhadap suatu materi. Berbeda dengan pembelajaran konvensional yang lebih fokus pada menghafal fakta, deep learning mendorong siswa untuk:
Menghubungkan konsep: Memahami bagaimana berbagai konsep saling terkait dan membentuk suatu pemahaman yang utuh;
Berpikir kritis: Menganalisis informasi, mengevaluasi argumen, dan menarik kesimpulan yang logis;
Memecahkan masalah: Menerapkan pengetahuan dan keterampilan untuk mengatasi tantangan yang kompleks;
Menciptakan sesuatu: Mengaplikasikan pemahaman untuk menghasilkan karya atau ide-ide baru.
Pendekatan pembelajaran Deep Learning sangat penting dan relevan untuk kebutuhan pendidikan saat ini. Pertama, Pemahaman yang lebih bermakna: Siswa tidak hanya mengingat fakta, tetapi juga memahami mengapa fakta tersebut penting dan bagaimana ia dapat diterapkan. Kedua, Keterampilan berpikir tingkat tinggi: Deep learning mengembangkan kemampuan berpikir kritis, analitis, dan kreatif yang sangat dibutuhkan di dunia yang terus berubah. Ketiga, Motivasi belajar yang lebih tinggi: Ketika siswa merasa bahwa mereka benar-benar memahami suatu materi, mereka akan lebih termotivasi untuk terus belajar. Ke-empat, Proyek berbasis masalah: Siswa diberikan masalah nyata untuk dipecahkan. Mereka harus mencari informasi, menganalisis data, dan bekerja sama untuk menemukan solusi. Kelima, Diskusi kelas: Guru menciptakan lingkungan yang aman bagi siswa untuk berbagi ide, mengajukan pertanyaan, dan menantang pemikiran satu sama lain. Ke-enam. Pembelajaran berbasis penyelidikan: Siswa secara aktif terlibat dalam proses penemuan pengetahuan melalui eksperimen, observasi, dan analisis data.
Deep Learning pada intinya adalah implementasi pendekatan pembelajaran dengan memiliki 6 goal kompetensi yang disebut sebagai 6 C, yaitu :
Character Education (Pendidikan Karater). Karakter mengacu pada kualitas individu untuk menjadi pribadi yang efektif di dunia yang kompleks termasuk: keberanian, keuletan, ketekunan, ketahanan, keandalan, dan kejujuran. Karakter peserta didik ini dapat kuatkan melalui pembiasaan yang positif berdasarkan nilai-nilai agama, atau norma-norma yang lain.
Citizenship (Kewarganegaraan). Berpikir seperti warga dunia, mempertimbangkan isu-isu global berdasarkan pemahaman mendalam tentang berbagai nilai dengan minat tulus untuk bekerja sama dengan orang lain guna memecahkan berbagai masalah rumit yang berdampak pada keberlanjutan manusia dan lingkungan.
Collaboration (Kolaborasi). Kolaborasi mengacu pada kapasitas untuk bekerja secara saling bergantung dan bersinergi dalam tim dengan keterampilan interpersonal dan terkait tim yang kuat termasuk manajemen dinamika tim yang efektif, membuat keputusan substantif bersama-sama, dan belajar dari dan berkontribusi pada pembelajaran orang lain.
Communication (Komunikasi). Komunikasi memerlukan penguasaan tiga kefasihan: digital, menulis, dan berbicara yang disesuaikan untuk berbagai audiens.
Creativity (Kreativitas). Memiliki 'mata kewirausahaan' untuk peluang ekonomi dan sosial, mengajukan pertanyaan yang tepat untuk menghasilkan ide-ide baru, dan menunjukkan kepemimpinan untuk mewujudkan ide-ide tersebut dalam praktik.
Critical Thinking (Berpikir Kritis). Mengevaluasi informasi dan argumen secara kritis, melihat pola dan hubungan, membangun pengetahuan yang bermakna dan menerapkannya di dunia nyata.
Bagaimana Implementasi Deep Learning dalam pembelajaran?.
Merancang pertanyaan yang menantang: Ajukan pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir lebih dalam dan menghubungkan konsep.
Menggunakan berbagai sumber belajar: Variasikan sumber belajar, seperti buku teks, artikel jurnal, video, dan pengalaman langsung.
Memberikan umpan balik yang konstruktif: Berikan umpan balik yang spesifik dan membantu siswa memperbaiki kesalahan mereka.
Menciptakan lingkungan belajar yang kolaboratif: Dorong siswa untuk bekerja sama dalam kelompok dan berbagi ide.
Deep Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran, bukan suatu model pembelajaran. Pendekatan pembelajaran adalah kerangka kerja atau sudut pandang yang digunakan oleh pendidik dalam merancang dan melaksanakan proses belajar-mengajar. Pendekatan ini menjadi landasan bagi pemilihan metode, strategi, dan aktivitas pembelajaran yang akan diterapkan. Karena Deep Learning adalah suatu pendekatan pembelajaran, maka dapat dibenamkan dalam beberapa model pembelajaran yang mendukung deep learning. Sebagai contoh model pembelajaran PBL (Problem Based Learning), model PBL memiliki 5 sintaks/ langkah pembelajaran, bagaimana implementasi Deep Learning pada PBL?, maka dapat dapat disusun sintaks yang integratif dengan PBL sebagai berikut :
Orientasi Siswa pada Masalah (Tahap 1). ⚪ Guru memperkenalkan masalah autentik yang relevan dengan mata pelajaran, kontekstual dengan masalah-masalah global yang saat ini dihadapi oleh masyarakat dunia, ⚪ Masalah dirancang untuk memicu rasa ingin tahu, daya kritis dan memotivasi siswa untuk mencari solusi, ⚪ Guru memberikan informasi awal yang diperlukan untuk memahami masalah. Informasi awal melibatkan dari banyak sumber, dan mengaitkan dengan pengetahuan awal siswa.
Mengorganisasi Siswa untuk Belajar (Tahap 2). ⚪ Siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil untuk bekerja sama (kolaborasi) dalam memecahkan masalah, ⚪ Setiap kelompok menentukan peran dan tugas masing-masing anggota, ⚪ Guru memberikan panduan dan dukungan dalam proses pengorganisasian ini, memandu untuk mengambil keputusan substantif bersama-sama dalam kelompoknya.
Membimbing Penyelidikan Individual dan Kelompok (Tahap 3). ⚪ Siswa melakukan penyelidikan untuk mencari informasi yang relevan dengan masalah, ⚪ Guru berperan sebagai fasilitator, memberikan bimbingan dan menjawab pertanyaan siswa, ⚪ Siswa dapat menggunakan berbagai sumber belajar, seperti buku, artikel, internet, atau ahli. Pada tahap ini, tentunya siswa diberikan kebebasan untuk outing class, atau melalui sarana media virtual untuk berkomunikasi dengan ahli (narsum) terkait dengan penyelidikannya, dengan tetap berada dalam pengawasan guru/ fasilitator.
Mengembangkan dan Menyajikan Hasil Karya (Tahap 4). ⚪ Siswa menganalisis dan mengevaluasi informasi yang diperoleh dan mengembangkan solusi untuk masalah, ⚪ Produk atau hasil karya dapat berupa laporan tertulis, presentasi, atau produk lainnya - bentuk creativity, ⚪ Siswa mempresentasikan hasil karya mereka di depan kelas sekaligus untuk melatih keterampilan dalam berkomunikasi, dan sebagai media dalam berdiskusi untuk saling mengevaluasi dan menganalisis.
Menganalisis dan Mengevaluasi Proses Pemecahan Masalah (Tahap 4). ⚪ Siswa bersama-sama guru merefleksikan proses pemecahan masalah yang telah dilakukan, ⚪ Mengevaluasi keefektifan strategi yang digunakan dan hasil yang diperoleh, ⚪ Guru memberikan umpan balik untuk memperbaiki proses pembelajaran dan sekaligus memandu mengambil keputusan substantif bersama-sama.
Main Sources : Deep Learning: Engage the World Change the World. Michael Fullan, Joanne Quinn, Joanne McEachen (2018); MOOC - Problem Based Learning. Mahbub Alwathoni, (2023).
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PBL
Ketika akan melaksanakan pembelajaran di ruang kelas (klasikal atau virtual), sudah semestinya guru telah merencanakan apa yang yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Jujur saja, apakah anda sebagai guru ketika hendak masuk ruang kelas telah mempersiapkan perencanaan dan tentunya tujuan pembelajaran?. Penulis pada rentang tahun 2017 - 2019 telah banyak mengunjungi sekolah/ madrasah khususnya di wilayah Jawa Tengah, dengan melakukan wawancara dengan banyak guru dan melakukan observasi langsung di ruang kelas. Kegiatan ini untuk melakukan studi pendahuluan terkait proposal disertasi yang hendak penulis ajukan.
Berdasarkan hasil wawancara dan tracing dokumen, hampir semua guru telah menulis "Tujuan Pembelajaran" yang tertuang dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran atau RPP. Namun Tujuan pembelajaran sebagian besar masih bertumpu pada silabus besar dari pemerintah dan tidak melakukan pengembangan Tujuan Pembelajaran. Tujuan pembelajaran yang hendak dicapai-pun luar biasa bagusnya, seperti - mampu menganalisis, mampu menerapkan, serta tujuan-tujuan pembelajaran lain dengan level tinggi C4, C5, dan C6 (Taksonomi Blom Anderson Revisi). Namun sayangnya, tujuan pembelajaran tersebut tidak selaras dengan pelaksanaan pembelajaran di ruang kelas. Bagaimana mungkin pembelajaran klasikal yang masih banyak didominasi ceramah, masih berpusat pada guru, serta keterlibatan siswa yang kurang dalam mempelajari subject matter tertentu, mampu mencapai tujuan tersebut?. Ibarat hendak menjadikan seseorang menjadi juara dalam lomba badminton, tapi proses pelatihannya adalah bermain futsal.
PENDIDIKAN ERA DISRUPSI
Perjalanan cukup panjang selama melakukan penelitian tentang pendidikan, (saya) sampaikan di media ini hanya sekedar curah keprihatinan (saya) yang juga sebagai pengajar. Mutu pendidikan tak lepas dari lembaga pendidikan itu sendiri, berangkat dari kesadaran individu dan memulai kesadaran kolektif lembaga akan terlihat jelas bagaimana lembaga pendidikan itu terlihat mutu-nya dikemudian hari. Ada beberapa main-factor yang bekerja dan berpengaruh dalam hal ini, yaitu pimpinan (kepala sekolah) dan pengawas (assesor). Pimpinan lembaga pendidikan (kepala sekolah) dituntut bukan hanya cerdas, cekatan, terampil dalam hal manajerial, namun juga kemampuan (ability) untuk menangkap perubahan zaman yang berlangsung begitu cepat tak terduga. Banyak kepala sekolah yang hebat, namun sedikit atau beberapa kepala sekolah yang bereputasi jelek atau pendek kata "stupid", akan menghambat luaran pendidikan nasional. Assesment kepala sekolah memang sudah seharusnya diperketat, namun apa daya pada akhirnya kembali berpulang kepada pengambil kebijakan, dalam hal ini kemendikmen/diknas dan kementerian agama. Ada beberapa lembaga pendidikan formal negeri yang (saya) temui pada saat penelitian (rentang 2017 - 2019). Bermula hanya mengambil sampel penelitian untuk kegiatan pembelajaran kimia di beberapa sekolah maupun madrasah, namun potongan fakta yang saya temui justru menyedihkan terkait peran kepala sekolah dalam ikut memundurkan pendidikan. Contohnya adalah tindakan yang tidak menyenangkan (bullying) yang diterima oleh guru kritis, cerdas, berprestasi yang dilakukan oleh kepala sekolah. Alasannya bermacam-macam, karena mengkritik kebijakan sang kepala, merasa tersaingi, hingga urusan personal yang semestinya tidak terjadi mengingat kepala sekolah harus memiliki figur humanis, cerdas sosial dalam merangkul semua anak buahnya.
Dari beberapa interview yang tak sengaja, terungkap pula pencitraan yang dilakukan kepala sekolah demi memperpanjang usia jabatannya, atau juga promosi jabatan. Guru di genjot untuk lahirkan prestasi sekolah, tapi ketika berhasil dan konferensi pers (sengaja mengundang media massa), bagaimana sang kepala sekolah menari kegirangan di atas jerih payah sang Guru. Ada beberapa kisah juga tentang guru yang harus di ungsikan (dipindah) karena "mengganggu" sang pimpinan. Bahkan ada "perbuatan tercela" yang dilakukan oleh kepala sekolah, demi pencitraan, demi dikenal atau demi disayang oleh pimpinan diatasnya, tak segan untuk memberi "upeti" dengan menggunakan "uang rakyat" (komite sekolah). Kisah ini (saya) potret dari sekolah negeri, bukan sekolah swasta yang dikelola yayasan. Tentang perilaku menyimpang sebagian kecil kepala sekolah tersebut, yang menjadi pertanyaan-nya adalah harus "curhat" kemana?. bukankah dengan lapor akan menimbulkan masalah baru yang mengancam nasib kami?, (tutur seorang guru). Tiba-tiba saya teringat buku karangan Joe L. Kinchelo "Teachers as Researchers (Qualitative Inquiry as Path to Enpowerment)" tahun 2014. Joe, demikian si penulis buku yang juga praktisi pendidikan di Amerika Serikat, menceritakan kesedihan guru-guru Amerika yang di ikat oleh regulasi tak adil sehingga tidak ada ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan segenap potensi yang dimilikinya, naluri alami curiosity dengan meneliti terabaikan, kesalahan dan regulasi yang tak pas ini tentunya pihak pemerintah yang harus bertanggunjawab. Tapi di negeri ini sebaliknya, mungkin ada sedikit peran pemerintah juga yang keliru, sehingga melahirkan kepala sekolah yang outlier yang semestinya tak pantas lahir dipermukaan bumi pendidikan.
Setelah kepala sekolah, main factor berikutnya adalah pengawas (assesor). Pengawas semestinya update informasi terkait luaran pendidikan, semisal paradigma pendidikan abad 21 menurut PISA, OECD, ISTE dan sebagainya, apakah mereka (pengawas) sudah memahami dengan betul?. Kaget kepalang ketika (saya) melakukan penelitian tentang pemahaman literasi, dan literasi sains pada guru SMA dan MA di Jawa Tengah. Dari 287 responden, hanya 54% yang memahami digital age literacy (salah satu luaran dan harapan pendidikan abad 21), 46% sudah memahami, dan dari 46% hanya terdapat 10% yang dalam proses belajar mengajarnya merumuskan kemampuan/ ability literasi sains sebagai tujuan pembelajarannya. Pengawas semestinya banyak membaca jurnal, jangan hanya regulasi dan perundang-undangan lantas diterapkan "kaku" kepada para pendidik. Akhir kata, kepada bapak Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang baru (kepemimpinan periode ke dua Pak Jokowi), mulailah menata dua faktor utama tersebut (kepala dan pengawas) dan ini adalah sangat mendasar selain memperbaiki kualitas guru juga. Kurikulum itu penting, tapi lebih penting metode, metode itu penting tapi lebih penting jiwa-jiwa kepala sekolah, pengawas, dan jiwa guru. Indonesia hebat, Indonesia emas, dan Indonesia bermartabat, sungguh sulit dan menjadi harapan kosong jika dua faktor tersebut sampai diabaikan. Mulailah dengan membuka lelang terbuka bagi calon kepala sekolah atau pengawas yang baru. Assesment yang ketat, tidak perlu aturan jenjang kepangkatan yang belum tentu cerminkan kompetensinya. Lebih baik cari kepala sekolah yang muda, energik, visi yang tajam kedepan meski baru golongan III.a atau III.b, daripada mencari yang tua golongan tinggi, namun hanya pandai dan ahli tanda tangan untuk terima amplop. Kepala sekolah (tua/berumur) memang menjadi harapan sebagai kiblat dalam berkepribadian/ berakhlakul karimah, tapi kenyataannya tidak selalu bicara demikian, atau sanggupkah beliau kepala sekolah yang berumur mampu menampung gejala disrupsi dalam dunia pendidikan?. Isu-isu politik yang berkembang saat ini tentang wacana menteri baru milenial, mestinya juga ada wacana kepala sekolah dan pengawas yang milenial. Selamat datang bapak Menteri Pendidikan dan Menteri Agama yang baru, dan mungkinkan (saya) juga akan mengucapkan selamat datang kepada "mas dan mbak" kepala sekolah atau pengawas milenial..?